Tentang Trolley Problem dan Segala Dilemanya
Duduk, bersantai, dan bayangkanlah. Anda sedang berdiri di dekat percabangan rel trem. Pada rel utama, lima orang berbaring sejajar, terikat erat di badan rel, dan sama sekali tidak responsif terhadap segala stimulan. Pada rel percabangan, terbaring satu orang dengan kondisi yang sama. Di hadapan Anda, terdapat sebuah tuas yang berfungsi untuk membelokkan arah trem. Lalu, tiba-tiba, sebuah trem melaju dari kejauhan. Sang sopir tak dapat menghentikan trem karena remnya rusak. Dalam sepersekian detik yang krusial dan menentukan itu, apakah yang akan Anda lakukan? Pilihan Anda hanya dua: tarik tuasnya atau tidak sama sekali. Selamatkan lima nyawa atau satu nyawa.
Kutipan tersebut merupakan trolley problem, dilema moral yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf asal Inggris, Philippa Foot. Sekilas, mungkin tampak mudah bagi Anda untuk mengatakan, "Ah, aku akan menarik tuasnya dan merelakan yang satu demi yang lima!". Dengan begitu, secara insting dan moral, Anda mungkin merasa itu pilihan terbaik. Itu hal yang lumrah karena survei yang dilakukan oleh Michigan State menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh orang akan mengambil tindakan yang sama seperti Anda (Cloud, 2011). Akan tetapi, terdapat kajian moralitas yang lebih mendalam untuk menyelesaikan persoalan trolley problem, yang kemudian menjadi alasan mengapa para akademisi, khususnya pada bidang filsafat dan psikologi, memperdebatkan dilema moral ini selama beberapa dekade.
Untuk memulai, mari bersama-sama berasumsi mengenai hal yang mungkin akan terjadi jika Anda memutuskan untuk menarik atau tidak menarik tuasnya.
Situasi 1: Anda menarik tuasnya.
Trem akan berbelok ke percabangan alih-alih bergerak melewati jalur yang seharusnya: rel utama. Maka, satu orang kehilangan nyawa, lima yang lain terselamatkan. Pilihan Anda secara default digolongkan sebagai tindakan bermoral berdasarkan kerangka pikiran mahzab utilitarianisme — aliran filsafat moral yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham yang berprinsip pada maksimalisasi rasa nyaman (pleasure) dan minimalisasi rasa sakit (pain). Ini sejalan dengan bagaimana menarik tuas akan mengorbankan lebih sedikit nyawa, yang pada akhirnya akan berefek pada lebih sedikit rasa sakit dan kerusakan.
Satu hal yang penting dari aliran ini adalah bahwa etika tidak ditentukan berdasarkan kehendak dan maksud moral seseorang; yang paling penting adalah konsekuensi dari kehendak dan maksud moral tersebut. Suatu tindakan bisa saja dikatakan bermoral baik meskipun kehendak dan maksud moralnya tidak baik. Anda bisa saja menarik tuasnya bukan karena ingin memaksimalisasikan rasa nyaman dan meminimalisasi rasa sakit, melainkan karena misalnya, Anda menyimpan dendam terhadap satu orang di percabangan rel dan tindakan Anda masih akan dinilai bermoral baik. Utilitarianisme tidak peduli terhadap motif dasar Anda, ia hanya peduli terhadap hasil akhir yang timbul sebagai dampak dari tindakan yang didasari oleh motif dasar Anda. Pada akhirnya, makin besar angka manusia yang terselamatkan, makin bermoral baik tindakan seseorang.
Akan tetapi, situasi mungkin akan menjadi lebih sulit ketika anonimitas orang-orang yang terikat di badan rel itu dihilangkan. Asumsikan jika satu orang yang Anda korbankan adalah kerabat dekat Anda, sementara lima orang lainnya merupakan sekelompok perampok yang pernah membobol akun bank Anda. Apakah Anda akan mengubah pikiran dengan tidak menarik tuasnya? Ini mungkin menjadi pilihan yang lebih sulit.
Atau, simak skenario ini. Asumsikanlah bahwa Anda adalah seseorang bertubuh besar dan kuat, cukup kuat untuk memberhentikan trem. Jika konsekuensi yang diharapkan adalah menyelamatkan sebanyak-banyaknya manusia, Anda bisa saja tidak menarik tuasnya dan tetap menyelamatkan nyawa, lebih banyak dari lima, bahkan! Jika Anda segera melemparkan diri Anda ke tengah rel untuk memberhentikan trem, enam nyawa sekaligus akan terselamatkan. Namun, kemungkinan besar Anda akan mati.
Bagaimana cara menghadapi kedua situasi dilematis di atas? Dalam pandangan utilitarianisme, semua manusia dipandang memiliki nilai yang setara. Anda tidak diperkenankan untuk melibatkan isi hati Anda karena Anda dituntut untuk berperilaku senetral mungkin dan tetap berorientasi pada angka. Jadi, jika Anda benar-benar seorang utilitarian sejati, Anda akan tetap berpegang pada keputusan awal untuk menarik tuas pada skenario pertama dan jika pilihan pada skenario kedua memungkinkan, Anda akan mengambil pilihan tersebut. Hal ini menyebabkan utilitarianisme menerima kritik dari berbagai tokoh karena, 1) aliran ini bisa saja menyebabkan seseorang bermoral, tetapi berhati dingin dan 2) terlalu banyak faktor yang diabaikan sehingga menjadi seorang utilitarian dirasa kurang praktikal dan terlalu memberatkan bagi sebagian orang.
Situasi 2: Anda tidak menarik tuasnya.
Trem akan bergerak lurus menuju rel utama, melindasi kelima orang yang terikat di badan rel. Maka, lima orang kehilangan nyawa, satu yang lain terselamatkan. Pilihan Anda secara default tergolong sebagai tindakan immoral berdasarkan kerangka berpikir utilitarianisme karena Anda telah gagal memaksimalisasikan rasa nyaman dan meminimalisasikan rasa sakit.
Dalam konteks yang lain, dikenal teori killing and letting die. Salah satu perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa killing diasosiasikan dengan tindakan aktif dan letting die diasosiasikan dengan tindakan pasif. Beberapa tokoh berpendapat bahwa tak ada perbedaan nilai moral di antara keduanya, tetapi beberapa tokoh lainnya berpendapat bahwa keduanya memiliki perbedaan nilai moral. Mari kita bahas pendapat kedua dalam menjelaskan situasi ini.
Pada dasarnya, manusia memiliki dua kewajiban moral yang harus ditunaikan:
- Kewajiban moral positif untuk membantu orang
- Kewajiban moral negatif untuk menghindarkan orang lain tersakiti
Trolley problem dirancang sedemikian rupa agar Anda dituntut untuk melakukan kedua kewajiban moral pada situasi yang tak memungkinkan karena satu kewajiban yang ditunaikan akan mengingkari kewajiban lain. Jika Anda tidak menarik tuasnya, satu orang mungkin akan terhindarkan dari rasa sakit, tetapi Anda gagal dalam membantu menyelamatkan lima orang lainnya. Begitu pun sebaliknya. Kewajiban moral negatif Anda akan selalu mendominasi cara-cara Anda dalam mengambil keputusan pada kasus ini. Sementara itu, di sisi lain, kewajiban moral positif biasanya dianggap lebih bermoral daripada kewajiban moral negatif. Hal ini menjelaskan keadaan killing sebagai lanjutan dari kewajiban moral negatif (tindakan yang bermoral lebih rendah) dan letting die sebagai lanjutan kewajiban moral positif (tindakan yang bermoral lebih tinggi).
Lantas, adakah alternatif alasan yang dapat menimbulkan urgensi bagi seseorang untuk mengambil pilihan ini — tidak menarik tuasnya? Ya, meskipun agaknya alasan ini muncul dari suatu proses kesalahan berpikir.
Kasus ini agaknya sedikit menjebak. Anda mungkin berpikir bahwa dengan tidak menarik tuas, Anda seharusnya menyelamatkan satu orang yang hendak dilindas trem dan gagal menghindarkan lima orang tersakiti — dengan begitu, kewajiban moral positif Anda akan lebih mendominasi. Mungkin, Anda juga berpikir bahwa dengan membiarkan trem melindasi lima orang, Anda membiarkan mereka mati, bukan membunuh mereka. Akan tetapi, ini salah. Kita tak pernah tahu apakah trem itu sejak awal akan bergerak lurus atau berbelok. Kontrol atas keputusan ada di tangan Anda dan sopir trem tak dapat memutuskan sesuatu. Anda membunuh lima orang ketika dengan sengaja membiarkan trem melewati rel utama. Anda membunuh satu orang ketika dengan sengaja membiarkan trem berbelok dan melewati rel cabang. Jadi, singkatnya, dalam segala situasi, semua tindakan yang Anda lakukan termasuk dalam kategori killing atau pembunuhan.
Pada situasi dilematis ini, mungkin menjadi pelik bagi Anda untuk kembali memilih di antara dua keputusan. Tentunya, hal tersebut tak menjadi masalah. Filsafat tidak membutuhkan penyelesaian yang memuaskan dari trolley problem karena bukan itu tujuannya. Bahkan, jika Anda benar-benar ambisius dan ingin mempraktikkan eksperimen ini untuk menemukan penyelesaian, perlu diketahui bahwa hal tersebut takkan berarti banyak. Situasi dan atmosfer yang tercipta melalui prosedur eksperimen ini kemungkinan besar hanya akan meningkatkan tingkat stres, menyebabkan seseorang mengalami situasi yang disebut shutdown mode, suatu keadaan di mana manusia tak dapat berpikir dan bertindak secara rasional. Ketika hal ini terjadi, kita tak akan mendapatkan jawaban apa-apa. Trolley problem sejatinya tak lebih dari sebuah eksperimen pikiran di kepala manusia yang sadar. Ia membantu kita untuk menjelajah pikiran dan membawa kita pada ujung sekat-sekat moralitas untuk memahami hubungan rumit yang terjalin antara nurani manusia dengan kejadian-kejadian di dunia dalam perspektif yang baru dan tak pernah terjamah sebelumnya.
Referensi
Black, J. (2016). This is Your Brain on Emergencies | | Blog | CDC. Diakses pada 1 April 2021, dari https://blogs.cdc.gov/publichealthmatters/2016/11/this-is-your-brain-on-emergencies/.
Cartwright, W. (1996). Killing and letting die: a defensible distinction. British Medical Bulletin, 52(2), 354-361. doi: 10.1093/oxfordjournals.bmb.a011550.
Cloud, J. (2011). Would You Kill One Person to Save Five? New Research on a Classic Debate | TIME.com. Diakses pada 1 April 2021, dari https://healthland.time.com/2011/12/05/would-you-kill-one-person-to-save-five-new-research-on-a-classic-debate/.
Thomson, J. (1976). Killing, Letting Die, and the Trolley Problem. Monist, 59(2), 204-217. doi: 10.5840/monist197659224.